Empat tahun terakhir, pemerintah kita sangat gencar mempromosikan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Bahkan di beberapa kota, seperti Surabaya misalnya, pemerintahnya telah menerapkan kebijakan pembebasan uang sekolah (SPP) kepada mereka yang mengambil keputusan untuk sekolah di SMK. Tujuan pemerintah secara gencar mempromosikan SMK adalah menstimulasi minat generasi muda untuk lebih memilih masuk SMK dibanding sekolah umum, disamping menyadarkan masyarakat bahwa SMK bukan sekolah yang secara level lebih rendah dibandingkan dengan Sekolah Umum.
Selama ini SMK dianggap sebagai sekolah yang mencirikan dari mana kelas sosial para murid tersebut berasal. Dulu, para orang tua yang menyekolahkan anak-anak di SMK adalah mereka yang berasal dari kelas sosial menengah bawah. Karena memang para orang tua ini berharap anak-anak dapat memperoleh pekerjaan secepatnya dan membantu meringankan beban orang tua. Dengan berjalannya waktu, perilaku seperti ini membentuk persepsi yang salah, sehingga sampai suatu ketika, kebanyakan orang tua dan anak-anak "gengsi", jika harus memilih SMK. Sebab nanti mereka akan dipersepsikan sebagai "orang miskin" dan bahkan tak punya kelas sosial. Akan lebih memiliki "kelas" dan menjadi "diterima" bergaul di berbagai kalangan, apabila anak-anak bersekolah di sekolah umum, bukan kejuruan.
Dalam perkembangannya, fakta menunjukkan tingkat pengangguran yang cukup tinggi dari kalangan lulusan SLTA dan lulusan perguruan tinggi, yang tidak memiliki skill dan kompetensi yang mumpuni. Oleh karenanya, mereka tidak siap bekerja atau tidak dapat memenuhi kualifikasi yang diinginkan oleh perusahaan. Disinilah kemudian pemerintah mengambil sikap untuk mengangkat nama SMK ke permukaan, karena memang senyatanya, para lulusan SMK lebih bisa diandalkan dalam hal ketrampilan, kompetensi dan kesiapannya untuk bekerja sesuai bidang yang diminatinya. Sampai-sampai, upaya pengangkatan nama SMK ini dilakukan dengan melibatkan para artis dan pengusaha yang mengaku lulusan SMK dan telah berhasil dalam kehidupannya.
Memang, dengan memilih SMK, hampir dapat dipastikan, para murid akan terbekali skill dan kompetensi sesuai dengan yang diminatinya. Begitu lulus dari SMK, dengan skill dan kompetensi yang mumpuni, mereka menjadi lebih siap bekerja dibandingkan dengan mereka yang lulusan sekolah umum (non kejuruan).
Para lulusan SMK lebih siap bekerja dibandingkan dengan mereka yang lulusan sekolah umum, karena memang para siswa SMK dipersiapkan dengan spesialisasi masing-masing (teknik mesin, teknik listrik,teknik informatika, mekanik,otomotif, akunting, manajemen, administrasi,musik&sen, hotel&pariwisata, tata busana, tata boga dll.)
Persoalannya kemudian adalah bagaimana para pengusaha yang nota bene adalah sebagai pengguna atau user dari para lulusan SMK ini merespon para lulusan yang telah memiliki skill dan kompetensi ini? Apakah para user ini "berani" bersikap jujur, adil/fair terhadap mereka dalam hal pemberian kompensasi?
Senyatanya, memang, para lulusan SMK lebih mudah memperoleh pekerjaan dengan skill yang mumpuni. Namun ini tidak berarti bahwa lebih mudah pula bagi mereka untuk "menyembuhkan" penyakit "unfairness", yang dimiliki oleh kebanyakan para user, dalam hal perolehan kompensasi. Bagaimana mereka, para lulusan SMK diperlakukan di dunia usaha? Berapa kompensasi yang layak dan fair bagi mereka, ketika mereka sudah menjadi karyawan? Agaknya ini sangat perlu campur tangan pemerintah dan kesadaran dari kebanyakan pengusaha sebagai user mereka.
Memang, dengan memilih SMK, hampir dapat dipastikan, para murid akan terbekali skill dan kompetensi sesuai dengan yang diminatinya. Begitu lulus dari SMK, dengan skill dan kompetensi yang mumpuni, mereka menjadi lebih siap bekerja dibandingkan dengan mereka yang lulusan sekolah umum (non kejuruan).
Para lulusan SMK lebih siap bekerja dibandingkan dengan mereka yang lulusan sekolah umum, karena memang para siswa SMK dipersiapkan dengan spesialisasi masing-masing (teknik mesin, teknik listrik,teknik informatika, mekanik,otomotif, akunting, manajemen, administrasi,musik&sen, hotel&pariwisata, tata busana, tata boga dll.)
Persoalannya kemudian adalah bagaimana para pengusaha yang nota bene adalah sebagai pengguna atau user dari para lulusan SMK ini merespon para lulusan yang telah memiliki skill dan kompetensi ini? Apakah para user ini "berani" bersikap jujur, adil/fair terhadap mereka dalam hal pemberian kompensasi?
Senyatanya, memang, para lulusan SMK lebih mudah memperoleh pekerjaan dengan skill yang mumpuni. Namun ini tidak berarti bahwa lebih mudah pula bagi mereka untuk "menyembuhkan" penyakit "unfairness", yang dimiliki oleh kebanyakan para user, dalam hal perolehan kompensasi. Bagaimana mereka, para lulusan SMK diperlakukan di dunia usaha? Berapa kompensasi yang layak dan fair bagi mereka, ketika mereka sudah menjadi karyawan? Agaknya ini sangat perlu campur tangan pemerintah dan kesadaran dari kebanyakan pengusaha sebagai user mereka.
Faktanya di lapangan, ketika anak-anak ini bekerja dan membaur dengan para pemegang ijazah diploma dan sarjana yang juga sama-sama fresh graduated (baru lulus), kemenonjolan atau kelebihan skill dan kompetensi mereka sama sekali tak berkorelasi dengan kompensasi yang diterima. Mereka tetap saja menjadi termarjinalkan dalam hal kompensasi, karena, meskipun mereka lebih terampil dan kompeten, kesalahan terbesar mereka adalah mereka "datang dari SMK".
Sebagai ilustrasi adalah perusahaan "X", yang bergerak dalam bidang "digital printing". Inti bisnis ini adalah bisnis jasa editing photo dan desain banner atau apapun yang merupakan materi periklanan.Dengan demikian, ini adalah ranah mereka yang terampil di bidang multimedia. Oleh karenanya, karyawan inti yang paling relevan adalah lulusan SMK teknik informatika jurusan multi media dan desain grafis. Mereka adalah pemegang peran utama dalam kegiatan/aktivitas bisnis perusahaan, sementara yang lainnya (seperti administrasi, pemasaran dan umum) adalah pendukung. Namun apa yang terjadi di lapangan adalah justru suatu tindakan yang unfairness dalam hal pemberian kompensasi. Kebanyakan user masih saja menggunakan standar yang sudah kadaluarsa. Mereka ini belum bersedia memberikan kompensasi secara proporsional dan fair, tapi justru masih memegang teguh aturan main yang sudah usang, yakni, berapa standar gaji lulusan SLTA, berapa standar gaji lulusan diploma dan berapa standar gaji lulusan perguruan tinggi (sarjana). Tetap saja, lulusan diploma dan sarjana akan memperoleh gaji yang lebih tinggi, meskipun secara nyata porsi beban pekerjaan lebih besar adalah dilakukan oleh anak-anak lulusan SMK yang jauh lebih terampil dan jauh lebih kompeten di bidangnya. Inilah ketimpangannya!
Sebagai ilustrasi adalah perusahaan "X", yang bergerak dalam bidang "digital printing". Inti bisnis ini adalah bisnis jasa editing photo dan desain banner atau apapun yang merupakan materi periklanan.Dengan demikian, ini adalah ranah mereka yang terampil di bidang multimedia. Oleh karenanya, karyawan inti yang paling relevan adalah lulusan SMK teknik informatika jurusan multi media dan desain grafis. Mereka adalah pemegang peran utama dalam kegiatan/aktivitas bisnis perusahaan, sementara yang lainnya (seperti administrasi, pemasaran dan umum) adalah pendukung. Namun apa yang terjadi di lapangan adalah justru suatu tindakan yang unfairness dalam hal pemberian kompensasi. Kebanyakan user masih saja menggunakan standar yang sudah kadaluarsa. Mereka ini belum bersedia memberikan kompensasi secara proporsional dan fair, tapi justru masih memegang teguh aturan main yang sudah usang, yakni, berapa standar gaji lulusan SLTA, berapa standar gaji lulusan diploma dan berapa standar gaji lulusan perguruan tinggi (sarjana). Tetap saja, lulusan diploma dan sarjana akan memperoleh gaji yang lebih tinggi, meskipun secara nyata porsi beban pekerjaan lebih besar adalah dilakukan oleh anak-anak lulusan SMK yang jauh lebih terampil dan jauh lebih kompeten di bidangnya. Inilah ketimpangannya!
Betapapun anak-anak ini sudah jauh lebih terampil dan lebih kompeten di bidangnya dibanding dengan para fresh graduated dari diploma dan S1, mereka tetap saja ada di level bawah, level yang tak dipertimbangkan. Karena standar yang digunakan kebanyakan user mereka, masih standar usang berdasarkan jenjang pendidikan.
Sekali lagi, memperoleh pekerjaan memang lebih mudah bagi para lulusan SMK, namun tidak berarti lebih mudah juga untuk mengangkat "kelas" mereka, agar menjadi lebih berharga di mata siapapaun.
Sepintas memang menyenangkan jika mengamati iklan lowongan pekerjaan di media massa, karena mereka, para user kebanyakan lebih menyukai memilih lulusan SMK dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi. Namun, apakah sebenarnya yang ada dibalik semua ini? Mengapa para user lebih menyukai lulusan SMK?
Jelas hal ini menguntungkan secara finansial bagi mereka. Mereka memperoleh karyawan (para lulusan SMK) yang secara riil jauh lebih terampil dan kompeten dibanding mereka yang fesh graduated diploma dan S1,dengan harga yang murah meriah. Karena standar gaji anak-anak, para lulusanSMK ini tak pernah ditinjau kembali untuk diangkat dan dipertimbangkan kelayakannya. Bisakah pemerintah melengkapi gencarnya promosi SMK ini dengan program baru pencanangan standar gaji untuk para lulusan SMK, yang terampil dan kompeten? Sehingga menjadi lebih fair ? Wallohu'alam !
Jelas hal ini menguntungkan secara finansial bagi mereka. Mereka memperoleh karyawan (para lulusan SMK) yang secara riil jauh lebih terampil dan kompeten dibanding mereka yang fesh graduated diploma dan S1,dengan harga yang murah meriah. Karena standar gaji anak-anak, para lulusanSMK ini tak pernah ditinjau kembali untuk diangkat dan dipertimbangkan kelayakannya. Bisakah pemerintah melengkapi gencarnya promosi SMK ini dengan program baru pencanangan standar gaji untuk para lulusan SMK, yang terampil dan kompeten? Sehingga menjadi lebih fair ? Wallohu'alam !