Sabtu, 13 Desember 2008

Sisi Lain Memilih SMK

Empat tahun terakhir, pemerintah kita sangat gencar mempromosikan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Bahkan di beberapa kota, seperti Surabaya misalnya, pemerintahnya telah menerapkan kebijakan pembebasan uang sekolah (SPP) kepada mereka yang mengambil keputusan untuk sekolah di SMK. Tujuan pemerintah secara gencar mempromosikan SMK adalah menstimulasi minat generasi muda untuk lebih memilih masuk SMK dibanding sekolah umum, disamping menyadarkan masyarakat bahwa SMK bukan sekolah yang secara level lebih rendah dibandingkan dengan Sekolah Umum.
Selama ini SMK dianggap sebagai sekolah yang mencirikan dari mana kelas sosial para murid tersebut berasal. Dulu, para orang tua yang menyekolahkan anak-anak di SMK adalah mereka yang berasal dari kelas sosial menengah bawah. Karena memang para orang tua ini berharap anak-anak dapat memperoleh pekerjaan secepatnya dan membantu meringankan beban orang tua. Dengan berjalannya waktu, perilaku seperti ini membentuk persepsi yang salah, sehingga sampai suatu ketika, kebanyakan orang tua dan anak-anak "gengsi", jika harus memilih SMK. Sebab nanti mereka akan dipersepsikan sebagai "orang miskin" dan bahkan tak punya kelas sosial. Akan lebih memiliki "kelas" dan menjadi "diterima" bergaul di berbagai kalangan, apabila anak-anak bersekolah di sekolah umum, bukan kejuruan.
Dalam perkembangannya, fakta menunjukkan tingkat pengangguran yang cukup tinggi dari kalangan lulusan SLTA dan lulusan perguruan tinggi, yang tidak memiliki skill dan kompetensi yang mumpuni. Oleh karenanya, mereka tidak siap bekerja atau tidak dapat memenuhi kualifikasi yang diinginkan oleh perusahaan. Disinilah kemudian pemerintah mengambil sikap untuk mengangkat nama SMK ke permukaan, karena memang senyatanya, para lulusan SMK lebih bisa diandalkan dalam hal ketrampilan, kompetensi dan kesiapannya untuk bekerja sesuai bidang yang diminatinya. Sampai-sampai, upaya pengangkatan nama SMK ini dilakukan dengan melibatkan para artis dan pengusaha yang mengaku lulusan SMK dan telah berhasil dalam kehidupannya.
Memang, dengan memilih SMK, hampir dapat dipastikan, para murid akan terbekali skill dan kompetensi sesuai dengan yang diminatinya. Begitu lulus dari SMK, dengan skill dan kompetensi yang mumpuni, mereka menjadi lebih siap bekerja dibandingkan dengan mereka yang lulusan sekolah umum (non kejuruan).
Para lulusan SMK lebih siap bekerja dibandingkan dengan mereka yang lulusan sekolah umum, karena memang para siswa SMK dipersiapkan dengan spesialisasi masing-masing (teknik mesin, teknik listrik,teknik informatika, mekanik,otomotif, akunting, manajemen, administrasi,musik&sen, hotel&pariwisata, tata busana, tata boga dll.)
Persoalannya kemudian adalah bagaimana para pengusaha yang nota bene adalah sebagai pengguna atau user dari para lulusan SMK ini merespon para lulusan yang telah memiliki skill dan kompetensi ini? Apakah para user ini "berani" bersikap jujur, adil/fair terhadap mereka dalam hal pemberian kompensasi?
Senyatanya, memang, para lulusan SMK lebih mudah memperoleh pekerjaan dengan skill yang mumpuni. Namun ini tidak berarti bahwa lebih mudah pula bagi mereka untuk "menyembuhkan" penyakit "unfairness", yang dimiliki oleh kebanyakan para user, dalam hal perolehan kompensasi. Bagaimana mereka, para lulusan SMK diperlakukan di dunia usaha? Berapa kompensasi yang layak dan fair bagi mereka, ketika mereka sudah menjadi karyawan? Agaknya ini sangat perlu campur tangan pemerintah dan kesadaran dari kebanyakan pengusaha sebagai user mereka.
Faktanya di lapangan, ketika anak-anak ini bekerja dan membaur dengan para pemegang ijazah diploma dan sarjana yang juga sama-sama fresh graduated (baru lulus), kemenonjolan atau kelebihan skill dan kompetensi mereka sama sekali tak berkorelasi dengan kompensasi yang diterima. Mereka tetap saja menjadi termarjinalkan dalam hal kompensasi, karena, meskipun mereka lebih terampil dan kompeten, kesalahan terbesar mereka adalah mereka "datang dari SMK".
Sebagai ilustrasi adalah perusahaan "X", yang bergerak dalam bidang "digital printing". Inti bisnis ini adalah bisnis jasa editing photo dan desain banner atau apapun yang merupakan materi periklanan.Dengan demikian, ini adalah ranah mereka yang terampil di bidang multimedia. Oleh karenanya, karyawan inti yang paling relevan adalah lulusan SMK teknik informatika jurusan multi media dan desain grafis. Mereka adalah pemegang peran utama dalam kegiatan/aktivitas bisnis perusahaan, sementara yang lainnya (seperti administrasi, pemasaran dan umum) adalah pendukung. Namun apa yang terjadi di lapangan adalah justru suatu tindakan yang unfairness dalam hal pemberian kompensasi. Kebanyakan user masih saja menggunakan standar yang sudah kadaluarsa. Mereka ini belum bersedia memberikan kompensasi secara proporsional dan fair, tapi justru masih memegang teguh aturan main yang sudah usang, yakni, berapa standar gaji lulusan SLTA, berapa standar gaji lulusan diploma dan berapa standar gaji lulusan perguruan tinggi (sarjana). Tetap saja, lulusan diploma dan sarjana akan memperoleh gaji yang lebih tinggi, meskipun secara nyata porsi beban pekerjaan lebih besar adalah dilakukan oleh anak-anak lulusan SMK yang jauh lebih terampil dan jauh lebih kompeten di bidangnya. Inilah ketimpangannya!
Betapapun anak-anak ini sudah jauh lebih terampil dan lebih kompeten di bidangnya dibanding dengan para fresh graduated dari diploma dan S1, mereka tetap saja ada di level bawah, level yang tak dipertimbangkan. Karena standar yang digunakan kebanyakan user mereka, masih standar usang berdasarkan jenjang pendidikan.
Sekali lagi, memperoleh pekerjaan memang lebih mudah bagi para lulusan SMK, namun tidak berarti lebih mudah juga untuk mengangkat "kelas" mereka, agar menjadi lebih berharga di mata siapapaun.
Sepintas memang menyenangkan jika mengamati iklan lowongan pekerjaan di media massa, karena mereka, para user kebanyakan lebih menyukai memilih lulusan SMK dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi. Namun, apakah sebenarnya yang ada dibalik semua ini? Mengapa para user lebih menyukai lulusan SMK?
Jelas hal ini menguntungkan secara finansial bagi mereka. Mereka memperoleh karyawan (para lulusan SMK) yang secara riil jauh lebih terampil dan kompeten dibanding mereka yang fesh graduated diploma dan S1,dengan harga yang murah meriah. Karena standar gaji anak-anak, para lulusanSMK ini tak pernah ditinjau kembali untuk diangkat dan dipertimbangkan kelayakannya. Bisakah pemerintah melengkapi gencarnya promosi SMK ini dengan program baru pencanangan standar gaji untuk para lulusan SMK, yang terampil dan kompeten? Sehingga menjadi lebih fair ? Wallohu'alam !

Sabtu, 06 Desember 2008

Membangun Sukses Hingga Akhir

Saya terkejut begitu mendengar berita bahwa ketika suatu saat diadakan sidak alat timbangan yang digunakan untuk berdagang, dari sejumlah 50 pedagang di sebuah pasar tradisional, hanya ada satu pedagang saja yang alat timbangannya dinyatakan memenuhi syarat. Sisanya harus ditera ulang. Dalam hati saya berkata ‘gejala apakah ini’? Kejujuran makin lama makin langka saja. Bagi umat Islam, tentu saja sangat tahu persis akan hukum yang dijanjikan Allah soal ‘mencuri timbangan’.
Terlepas dari kesengajaan ataupun ketidaksengajaan para pedagang tersebut, saya hanya ingin berbagi sesuatu. Sesuatu tersebut adalah, bagaimana membangun kesuksesan, sehingga menjadi sosok yang dapat meraih sukses di awal, di tengah dan di akhir.
Berbicara soal timbangan, satu-satunya alasan mengapa orang kemudian mencuri timbangan adalah mereka ingin memperoleh keuntungan dengan mudah dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Disadari atau tidak, mencuri timbangan merugikan orang lain. Jika sekali timbang, berhasil mengelabuhi berat sejumlah satu ons, maka untuk sejumlah 20 pembeli, dalam sehari bisa menghasilkan dua kilogram barang curian. Dalam sebulan, bisa terkumpul sejumlah 60 kg, dalam setahun sejumlah 720 kg atau 7,2 kw. Itu hanya untuk kasus satu pedagang, padahal dalam satu pasar tersebut, hanya terdapat satu saja pedagang yang jujur, dalam arti bahwa alat timbangannya dinyatakan “OK”, oleh penyidak.
Pencurian berat timbangan, mungkin akan menguntungkan kita dan dalam waktu yang singkat, materi kita dapat terkumpul. Apalagi masyarakat sekitar, memang lebih suka mengukur kesuksesan dari sisi materi yang kita miliki dan yang tampak dilihat oleh mereka. Ketika kita mulai sesuatu, kita berdoa, kita optimis dengan Bismillah, Allah akan menolong kita memulai kegiatan.
Ibarat orang menanam pohon mangga, pertama yang dilakukan adalah menanam bibit mangga, harus disiram, disiangi dan dipupuk, sehingga sang mangga menjadi tumbuh besar dan hijau subur.
Dalam kasus pedagang di pasar tersebut, maka makin banyaknya pelanggan yang datang karena kejujuran kita, ini dapat dimaknakan bahwa mangga yang kita tanam, kita siangi dan kita pupuk serta kita sirami, telah berhasil tumbuh subur. Inilah yang dimaksud kesuksesan di awal. Pada tahap berikutnya, kita harus tetap meluangkan waktu dan energi untuk menjaga dan melindungi sang mangga, hingga ia menghasilkan buah seperti yang kita harapkan. Dalam kasus pedangang di pasar, maka ketahanan diri kita dalam menepis godaan untuk mencuri timbangan dan tetap bertahan untuk menjadi pribadi yang jujur, inilah yang dinamakan kesuksesan di tengah. Selanjutnya, ketika buah mangga tersebut dapat kita nikmati, bahkan kita jadikan komoditas yang lebih mempunyai nilai jual, dapat berperan dalam kehidupan ekonomi masyarakat, yang bahkan bijinya pun bisa ditanam kembali untuk regenerasi. Alangkah indahnya. Lantas bagaimana dengan kasus pedagang tersebut?
Ketika kita menganggap bahwa kita sudah sukses, sementara hari-hari kita hanya menumpuk barang curian dari mengelabuhi pembeli melalui mencuri timbangan, yang sebenarnya adalah kita menuju kehancuran. Sukses yang sebenar-benarnya sukses, belum dapat kita jawab sekarang. Ketika hakim tertinggi Allah SWT mengadili kita nanti, dan menetapkan pada surga yang mana kita ditempatkan, barulah kita boleh mengatakan bahwa kita sukses. Itulah sukses di akhir.
Orientasi untuk mencapai kesuksesan yang langgeng, adalah orientasi untuk menjadi sukses di akhir. Apalah artinya, dunia menilai kita sukses, tapi dalam lubuk hati yang paling dalam kita mengetahui ketidakjujuran yang kita lakukan terus menerus. Sungguh sangat mengerikan apabila, kesuksesan kita di awal dan di tengah (versi duniawi), pada akhirnya bermuara pada kegagalan menjadi tamu agung Allah SWT, yang berarti juga kegagalan masuk dalam surga Allah. Naudzubillahimindzalik.

Mengapa Rambut Tak Boleh Gondrong?

Mengapa Rambut Tak Boleh Gondrong?
Ini adalah pertanyaan anak lelakiku. Selama 3 tahun menempuh SLTA, pertanyaan ini selalu menjadi bahan perdebatan di antara kami, baik di meja makan, di teras rumah, maupun di perjalanan jika kami sedang berjalan-jalan.
Aku sudah berusaha menjelaskan bahwa kebanyakan orang risih melihat rambut gondrong. Dia bilang “tapi ma, aku nggak usah dilihat, juga nggak apa-apa”. Aku juga sudah menjelaskan, bahwa itu adalah bagian dari disiplin sekolah. Anakku menjawab lagi dengan pertanyaan, “aku nggak ngerti, disiplin seperti itu bertujuan apa? Agar apa? para guru juga tak pernah bisa menjelaskan hubungan antara rambut gondrong dengan prestasi di sekolah.
Apakah kegondrongan dapat mempengaruhi prestasi belajar atau produktivitas siswa? Ini pun tidak pernah jelas.
Akhirnya, karena sudah lelah dikejar pertanyaan, aku ‘memerintahkan’ anakku, agar untuk sementara, masuk saja pada dunia yang ia anggap sebagai dunia penuh kekonyolan.“Pokoknya, yang penting kamu selesaikan UNAS, kamu bebas!”
Dalam pandangan anakku, ini adalah hal yang konyol, karena dalam banyak buku dan informasi yang ditemukan, para ilmuwan jaman dahulu seperti Einstein, Thomas Alfa Edison dll., tak ada yang tidak gondrong, toh penemuan mereka justru me_legenda dan diagung-agungkan oleh dunia. Tidak ada jalan lain kecuali mengalah dan ikut arus peraturan sekolah.
Ketika lulus SLTA, ternyata dia masuk ke dalam “jebakan” lain, yang menurutnya lebih konyol dari sebelumnya. Tiga tahun dia memendam keinginannya untuk membiarkan rambutnya tumbuh tanpa dipotong, namun pada akhirnya dia masuk pada Lembaga Pendidikan yang menerapkan aturan yang sama dengan aturan sekolahnya pada waktu SLTA dulu. “Mengantar mahasiswa memperoleh pekerjaan dalam waktu yang singkat dan mendidik mahasiswa menjadi sosok profesional sejati”, inilah motto tempat anakku berkuliah. Menurut jajaran manajemen kampus, penampilan profesional adalah penampilan rapih, baju lengan panjang berdasi, celana kain, bersepatu pantovel dan rambut tak boleh gondrong. Melanggar aturan itu semua, lihat saja.. akan menimbulkan kendala memperoleh pekerjaan. Anakku bilang, "ini lebih konyol lagi!", sehingga diputuskanlah untuk mencari pekerjaan dan menjadi profesional agar dia dapat membuktikan keyakinannya bahwa kegondrongan tak ada hubungannya dengan perolehan pekerjaan.
Maka ketika sekali melamar dan ia diterima bekerja sesuai dengan bidang yang diminati dan ditekuninya selama ini, ia putuskan untuk keluar dari kampus yang menurutnya “konyol” tersebut. Dalam perjalanan kerjanya, kawan-kawannya merayunya untuk kembali ke kampus. Anakku bilang “tujuanku kuliah di sana adalah ingin cepat memperoleh pekerjaan, kan kampus berpendapat bahwa rambut gondrong tak akan mudah memperoleh pekerjaan, sekarang aku sudah buktikan bahwa aturan ini konyol”.
Hingga sekarang, aku juga berfikir keras, apakah sebenarnya ada korelasi antara kegondrongan dan produktivitas atau prestasi seseorang? Sering anakku bertanya mengapa dia dicap sebagai egois hanya karena soal rambut. Aku juga tidak bisa menjawab. Yang dapat aku lakukan hanyalah menganjurkan agar dia tidak usah melawan pendapat banyak orang yang kemudian hanya akan menyakiti orang lain saja, menasehatinya agar ia menjadi orang yang baik dan terus menerus memperbaiki diri. Aku menyarankan agar setiap hari dia berupaya untuk menjadi lebih baik lagi. Aku juga sedang belajar dari dia, belajar menghargai pendapat dan keputusannya. Aku ijinkan dia untuk menemukan komunitas yang sesuai dengan hati dan nuraninya daripada ia menghabiskan waktu dan energinya untuk sesuatu yang bertentangan dengan nuraninya, asal ia tetap pada koridor keimanannya.
Kebanyakan orang memang tak dapat menejelaskan hal ini (hubungan antara rambut gondrong dan prestasi atau produktivitas) hingga memuaskan dan masuk di akal. Oleh karenanya, cara satu-satunya adalah tidak masuk ke dalam komunitas yang menolak, kemudian berusaha mencari dan menemukan komunitas yang sesuai. Agar hidup menjadi lebih mudah, menjadi lebih bisa berkarya dan menjadi lebih bermakna.

Minggu, 23 November 2008

AREKE MBANGUN MANEH....!!

Biasa, sambil ngunjukno celana....
wira-wiri ngamat-amati endi sing iso digarap....
sopo ngerti oleh proyek anyar....,
eh...ndilalah....,
oleh ngisore tangga...,

lumayaaann rek.... !,
Areke oleh maneh...

Rabu, 19 November 2008

SURAT TERLARANG, DILARANG BACA SELAIN PAK DO !

Dear Pak Do....,
Aku hanya bisa bilang...’kecian deh loe....,
Habis, semua tunjangan kawan-kawan pejabat pada naik....
Eehhhh...Cuma Pak Do yang ter ‘singsal’...
Tetep aja bergerak dari dua ratus ribuan...
Ya... bagaimana lagi....kecian deh loe....,
Mungkin...konsep usulan yang ada namanya Pak Do,
“lagi tersimpan di laci warek!”...
Pak Do...Pak Do.... !
Pak Do tahu ndak ?
Laci warek itu bukan sembarang laci lho ....!
Meskipun kecil dan sempit,
Laci ini mampu menyimpan segala macam “file” document lho...!
Laci ini juga bisa menyimpan barang-barang dan dokumen ghoib lho....!
Ndak percaya....?
Lha Renstra kita yang belum disusun dan Statuta 10 tahun ke depan yang belum ditulis aja....disimpan di sana lho...!
Coba aja baca surat “pamer”nya kepada dekan pas dia “digandholi”atas pengunduran dirinya....,
Sudah ahhh.... nanti kuwalat jadi jambu mente...!
Kita kan harus menerapkan ajaran kasih....
Sayangnya dalam kasus ini....menjadi tipis bedanya,
antara kasih dan pilih kasih..he..he...
oh ya prend,...
jangan dibocorkan lho !!!
nanti ndak dianggep menciptakan situasi tak kondusip lho...,
kan sudah jelas ?
kalau bikin situasi ndak kondusip, tindak teges saja bro...!

Ya...Allah, Anugerahkan Anggur Ternikmat untuk Mbok Nah !


Aku lupa akan apa yang tidak menarik dalam hidupku. Yang aku ingat hanyalah segala hal yang membuatku tertarik untuk kuabadikan dalam tulisan. Orang tuaku bukan pegawai negeri. Bapakku seorang pengusaha pengrajin sarung tenun motif tradisional dan ibuku membantu pekerjaan bapakku di pabrik. Kami memiliki lebih kurang 100 karyawan yang bekerja di dalam dan tersebar di beberapa kampung sekitar di luar pabrik. sehingga untuk ukuran sebuah dusun pada waktu aku kanak-kanak, orang tuaku termasuk dalam kategori “orang berada” di sana. Kedua orang tuaku tergolong workaholic, selalu menghabiskan waktu di pabrik, bahkan meskipun itu adalah hari minggu. Dalam kamus orang tuaku, tak ada kata “libur”.
Kerinduanku akan kehangatan kasih sayang orang tuaku, tak pernah tersampaikan. Bahkan, penyakit demamku yang sesekali kumat, tak jua mampu memanggil ibuku pulang dari pabrik, untuk sekedar mendekap dan memeluk aku hingga aku terttidur nyaman. Ibuku selalu bekerja dan bekerja sepanjang hari, sepanjang malam dan sepanjang minggu. Bapakku juga sama saja. Bagi mereka, mengajukan protes untuk ditunggui adalah sebuah kemanjaan. Bagi mereka, hidup yang benar adalah bekerja, sehingga aku dan kakak-kakakku selalu saja diharuskan terlibat dalam pekerjaan di pabrik. Jika kedapatan kami bermain bersama anak-anak kampung sebaya kami, sementara kedua orang tua kami sedang bekerja keras di pabrik, maka sudah dapat dipastikan, bahwa kemarahan dan pukulan sapu lidi sudah menanti.
Satu-satunya sandaran aku hanya mbok Nah. Hanya mbok Nah yang mengasuh aku dengan total kasih sayang yang dimilikinya. Perempuan tua ini mengabdikan hidupnya untuk keluarga kami. Aku sangat menyayanginya. Aku ingat betul betapa mbok Nah selalu merelakan kedua puting susunya untuk aku, meskipun air susunya tak jua pernah keluar. Jika kakak-kakakku gemes menyaksikan tingkahku, salah satu diantara mereka mengambil minyak kayu putih dan mengoleskan kayu putih kepada kedua puting susu mbok Nah. Namun mbok Nah-ku sangat baik hati. Dilapnya olesan kayu putih itu dengan ujung kain sewek nya dan mempersilahkanku untuk “menthil” kembali dalam pangkuannya.
Ketika aku ingin sekali sekolah, padahal usiaku belum genap lima tahun, Mbok Nah mengantar dan menggendongku, menempuh 4 kilometer menyusuri hamparan rel kereta api, jalan satu-satunya pergi dan pulang dari sekolah. Sekecil itu, aku belum mempunyai rasa iba. Yang aku rasakan hanya kenikmatan dalam gendongannya. Sesekali aku dipanggul di atas punggungnya, sesekali aku dituntunnya berjalan di sampingnya.
Suatu saat aku pernah sangat sedih. Ibuku marah hanya karena aku ingin menginap di rumah mbok Nah. Padahal tidur dalam pelukan mbok Nah, di rumahnya yang sekaligus juga berfungsi sebagai kandang sapi, bagiku tetap jauh lebih nyaman rasanya dibandingkan dengan tidur di rumah orang tuaku sendiri. Mbok Nah itu tidak pernah mengeluh, mbok Nah tidak pernah marah, mbok Nah tak pernah meminta meskipun kehidupan keluarganya sangat sangat sederhana. Sepanjang usia dalam hidupnya, nyaris dihabiskan hanya untuk memberi. Mbok Nah adalah seorang wonder woman.
Bahkan ketika aku melahirkan anak pertamaku, mbok Nah pun merawat dan mengasihi anakku sama seperti yang dilakukannya kepadaku. Waktu itu aku sudah bekerja meskipun gajiku tak besar sebagai guru di sebuah Tsanawiyah di kampung sebelah. Dari gajiku yang sedikit, aku belikan buah anggur untuk mbok Nah-ku. Namun, apa yang kudapati diluar dugaanku. Mbok Nah justru menangis meraung-raung di dapur kami dengan memegang anggur di piring. Katanya, dia sangat terharu bahagia sudah dapat ikut menikmati gajiku, “cucu”nya yang selama ini besar dalam gendongan kasihsayangnya. Katanya, apa yang kulakukan, tak pernah dilakukan oleh anak-anaknya, karena kata mbok Nah, mereka tak mungin membelikannya anggur.
Ini kehidupan kami, 20 tahun yang lalu. Selepas ujian sarjana, aku mengadu nasib di Surabaya. Setiap pulang kampung, aku menemui mbok Nah. Mbok Nah bilang selalu mendoakan aku agar hidupku bahagia dan berkecukupan rizki. Tapi sayang, mbok Nah meninggal dunia karena asma 15 tahun yang lalu, jauh sebelum aku menikmati kecukupan rizki yang dulu pernah dimohonkannya kepada Allah SWT untukku. Aku yakin mbok Nah di alam sana pun selalu mendoakanku. Sampai sekarang aku seringkali kangen mbok Nah dan selalu menangis mengenang semua yang telah diberikannya padaku lebih dari segalanya.
Mbok, tadi pagi hujan mengguyur Surabaya. Dan aku sedang dalam perjalanan mengendarai motor menuju tempat kerja. Mbok tahu? Aku begitu kangen sama mbok. Aku sangat ingin bertemu dan membahagiakan mbok. Aku tahu mbok tidak bahagia sepanjang kehidupan mbok tapi aku yakin mbok bahagia dalam kematian. Aku tahu mbok sedang menyaksikan aku yang sudah mampu membelikan anggur lagi untuk mbok. Hari ini aku bisa membelikan buah apapun yang mbok inginkan dan belum pernah mbok makan. Mengapa mbok meninggal sebelum aku mampu membawakan mbok segenggam anggur lagi, yang lebih nikmat dari yang dulu ? ya Allah, bahagiakan mbok Nah_ku dan anugerahkan anggur yang paling nikmat untuknya di alam sana. Amin !

Ironisme Lembaga Pendidikan Bernuansa Bisnis

”Sampeyan itu mengelola sekolahan apa bank thithil?”. (bank thithil = rentenir).
Demikian kalimat tanya yang baru-baru ini saya sampaikan kepada salah satu lembaga pendidikan profesi di kota Surabaya, ketika berulangkali karyawatinya yang berjilbab itu, mengingatkan saya bahwa SPP bulanan anak saya, yang baru saja tercatat sebagai siswa baru, tak boleh terlambat. Paling lambat harus dibayarkan tanggal 3 setiap bulannya. Apabila terlambat, dikenakan denda Rp 5000,-“ per hari.

Hingga saat ini, pikiran saya selalu saja terganggu oleh realita tentang pendidikan yang dibisniskan. Yang saya alami adalah satu dari sekian contoh yang ada di kota ini. Dan yang paling memprihatinkan adalah jubah yang dikenakan adalah jubah (maaf) agamis. Begitu anda memasuki gedung megahnya, yang ada semuanya bernuansa agamis, dari ayat-ayat suci yang ditempel di setiap jengkal dinding, ketersediaan tempat ibadah, rutinitas pengajian, hingga karyawati yang semuanya berjilbab dan karyawan yang nyaris semuanya berjenggot . kata-katanya begitu teduh, memberikan keyakinan bahwa kita tak salah pilih. Yang mengganggu pikiran saya adalah, tindakan-tindakan mereka sangat tidak masuk akal dan merupakan sebuah ironisme.

Lembaga pendidikan yang memilih nuansa agamis, mestinya mencerminkan dan mengimplementasikan ajaran-ajaran yang agamis pula. Dalam relevansinya dengan pendidikan, mestinya ada keberpihakan kepada kaum papa. Lha ini, yang ada malah di tangan kaum yang mengaku agamis, pendidikan semakin mahal, jauh lebih mahal dari sekolah-sekolah umum/biasa. Sekarang ini, jika tidak memiliki dana minimal lima hingga sepuluh juta (dan ini hanya dana awal), jangan bermimpi bisa menginjak sekolah-sekolah bernuansa agamis, jangankan Sekolah Dasar, bahkan setingkat Play Group pun dibisniskan. Mereka tak lebih dari pebisnis komersil yang bersembunyi di balik sampul-sampul agamis. Dalam contoh kasus di atas, dengan mengenakan denda lima ribu per hari bagi keterlambatan pembayaran, artinya ini lebih kejam dari bank thithil atau rentenir. Bagi mereka yang mengaku agamis, pasti dapat memahami bahwa siswa atau orang tua yang terlambat membayar, pastilah disebabkan karena belum meliliki uang, lha kok solusinya malah “dicekik”?.

Sebagai pebisnis, sah-sah saja mereka menetapkan harga yang sangat tinggi, untuk segmen pasar yang dipilihnya, yakni segmen kelas sosial “berduit”. Memang, segmen kelas atas, sebagian besar meragukan kualitas produk apapun yang dijual dengan harga yang murah. Dalam persepsi psikologis segmen ini, produk mahal pasti kualitasnya bagus. Oleh karenanya, bagi pebisnis yang telah menetapkan bahwa segmen pasar yang dipilih adalah segmen kelas atas, jangan sekali-sekali memberi harga rendah, pasti tidak akan diminati.

Persoalannya adalah yang dibisniskan ini ‘pendidikan’. Okey-lah kalau mereka tidak sama sekali menyampuli dirinya dengan hal-hal yang terkait dengan agama. Bukankah sebuah ironisme jika kaum yang mengaku agamis mencekik saudaranya sendiri, baik saudaranya yang seiman maupun sebangsa setanah air ?. Yang mampu bersekolah di sana hanyalah orang-orang yang berduit saja. Hadirnya sekolah – sekolah ‘favorit”ini hanya akan menciptakan senjang yang makin lebar saja antara si kaya dan si miskin. Anak-anak menjadi semakin terpisahkan. Karena dengan melembagakan orang-orang kaya lewat sekolah-sekolah “favorit”, otomatis mendidik anak-anak untuk berinterakti sosial, hanya dengan sesama kelas sosial. Apabila ini berlangsung reguler dan kontinyu, hal ini akan membentuk komunitas yang baru, yang tentu saja isinyapun hanya mereka-mereka yang berduit saja. Lantas apa dampaknya kemudian ? komunitas kaum miskin/papa akan semakin terpuruk dan tak dapat duduk sejajar menikmati indahnya kemajuan pendidikan dan teknologi. Mereka semakin lama semakin terpinggirkan.

Betapapun, naluri bisnis itu dapat melihat dan menangkap peluang, meskipun peluang itu sangat kecil. Sebagai ilustrasi lain, bahkan “pelatihan sholat khusu’ pun bisa dijual dengan harga Rp 1,5 juta per orang” dan ada yang “minat”, dan banyak yang “membeli” pelatihan ini.

Lantas bagaimana menghadapi kondisi dan situasi pebisnis pendidikan ?
Bagi masyarakat sebagai konsumen, yang dapat dilakukan adalah berhati-hati saja dalam “membeli” pendidikan. Pendidikan anak-anak memang investasi, namun tidak harus dibayar dengan melampaui batas-batas kewajaran. Apabila kita mempunyai uang lebih, alangkah baiknya berbagi untuk anak-anak lain yang tak mampu membayar biaya pendidikan. Ini akan lebih mulia dari pada masuk ke dalam lingkaran pebisnis yang tidak punya hati. Dalam ilmu perilaku konsumen, dikatakan bahwa kebanyakan konsumen adalah “illogic”/ tidak logis dalam mengambil keputusan pembelian. Dalam mengambil keputusan beli, kebanyakan dipengaruhi oleh faktor psikis (phsycological factor). Oleh karenanya, inilah yang digunakan sebagai senjata pebisnis untuk menyusun strategi. Psikis calon konsumen akan diserang/disentuh lebih dulu, untuk memunculkan minat, bahkan yang tidak butuh pun, akhirnya bisa jadi butuh. Bagi para pebisnis pendidikan, paling banter, yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga semacam itu adalah ‘pendidikan disiplin dan akhlak’, bukan “jaminan surga atau neraka”. Mengapa tidak kita sendiri yang bertanggungjawab, kemudian mengajarkan dua hal itu kepada anak-anak ? Mengapa kita harus membayar sebuah lembaga untuk menjalankan peran dan tanggung jawab kita sebagai orang tua? Jika kita tidak mau atau lebih ekstrimnya lagi, “malas bertanggungjawab”, maka kita selamanya akan menjadi sasaran kaum pebisnis pendidikan.

Bagi pemerintah, Mengapa tidak ada regulasi yang mampu mengatur batas kewajaran biaya pendidikan ? atau, jika sudah ada, mengapa makin lama sekolah-sekolah “bersampul agamis” itu makin melenggang berbisnis ?
Wallahu’alam !